Bubur Harisa Cirebon untuk Musafir

Editor

Eni Saeni

Bubur Harisa dari Cirebon. Tempo/Istimewa/Ivansyah
Bubur Harisa dari Cirebon. Tempo/Istimewa/Ivansyah

TEMPO.CO, Jakarta - Tradisi memberi makan untuk berbuka puasa masih dilakukan Sech Muhammad Islam Basayut di Cirebon hingga kini. Meski Islam Basayut sudah wafat sejak 1945 lalu pada usia 70 tahun, tradisi tersebut dilakukan oleh keturunannya. "Kami keturunannya yang meneruskan tradisi itu," kata Muhammad Basayut, cucu dari Sech Muhammad Islam Basayut.

Muhammad Basayut, 65 tahun, biasa disapa Basayut, saat itu tengah mengaduk-aduk adonan bubur di sebuah panci besar dengan menggunakan centong besar. Di sampingnya ada empat panci besar adonan bubur yang juga sedang dimasak oleh istri dan anak-anaknya. Wangi rempah menguar kuat dari adonan bubur putih itu. "Ini bubur Harisa," ujar Basayut sambil mengaduk bubur itu.

Harisa berasal dari bahasa arab yang berarti penjaga atau menjaga. Sejak hari pertama puasa, Basayut dan keluarga sudah mempersiapkan bubur Harisa di rumahnya di kampung Arab, Jalan Pekarungan, Kota Cirebon.

Bubur Harisa menggunakan bahan baku utama beras yang dicampur dengan daging kambing dan rempah-rempah. Setiap hari, keluarga Basayut memasak 10 kilogram beras untuk dijadikan bubur Harisa.

Cara memasaknya, beras dimasak terlebih dahulu, lalu masukkan santan dari 10 butir kelapa untuk setiap 10 kilogram beras. Setelah mendidih, masukkan daging kambing 5 kg dan rempah-rempah. Bubur dimasak sekitar 1,5 jam. Setelah matang dan dingin, Harisa disajikan di atas nampan besar yang terbuat dari aluminium. Lalu bubur itu dibawa ke Masjid As Syafii, tak jauh dari rumah Basayut.

Bubur Harisa disajikan bersama kurma, kopi jahe, dan teh air manis. Selain dibawa ke masjid, ada pula yang dibagi-bagikan kepada tetangga sekitar. Tak heran jika sekitar pukul 14.00 WIB warga sudah ramai berkumpul di rumah Basayut. Mereka membawa wadah untuk tempat bubur. Yang mengantre bukan hanya orang muslim, tapi warga nonmuslim pun sering antre untuk mendapatkan bubur yang memiliki makna menjaga kehidupan itu. "Bubur ini diberikan untuk semua orang di bulan suci dan bulan berbakti ini," katanya.

Islam Basayut, lelaki kelahiran 1875, merupakan saudagar kaya turunan Arab di Cirebon yang pertama kali memperkenalkan tradisi memberi makan orang puasa dengan bubur Harisa. Jejak sebagai saudagar kaya terlihat dari peninggalannya berupa rumah seluas 3.000 meter persegi di kawasan Pekarungan itu. Tak jauh dari rumahnya, Islam Basayut membangun Masjid As Syafii.

Ihwal pemberian bubur Harisa itu bermula ketika Islam Basayut sering melihat banyak musafir yang mendirikan salat di Masjid As Syafii. "Mereka biasanya baru turun dari kereta terakhir di Stasiun Prujakan," katanya.

Agar musafir itu tak kelaparan, Islam Basayut pun membuat bubur Harisa untuk para musafir. Islam Basayut selalu memakan bubur Harisa itu bersama-sama para musafir. Dengan tradisi itulah, Islam Basayut mewasiatkan agar keturunannya meneruskan membuat bubur Harisa, terutama pada bulan Ramadan.

Tradisi itu diteruskan hingga kepada cucunya, Basayut. Menurut Basayut, sang kakek mewariskan tabungan khusus yang tidak boleh diutik-atik oleh siapa pun karena tabungan itu untuk membuat bubur Harisa dan biaya perawatan Masjid As Syafii. "Jadi kami tinggal meneruskan tradisi Harisa karena itu wasiat yang harus dipatuhi," ujarnya. "Jika saya sudah tidak ada, anak saya yang harus membuat bubur itu untuk para musafir."

IVANSYAH