TEMPO.CO, Yogakarta - Tembi Rumah Budaya akan memperingati jejak sastrawan Linus Suryadi AG lewat acara Sastra Bulan Purnama edisi 19, di Jalan Parangtritis Km 8,5, Tembi, Sewon, Bantul Yogyakarta, Selasa malam, 26 Maret 2013. “Puisinya liris dan masih relevan dengan kondisi sosial saat ini,” kata koordinator acara Ons Untoro, Senin, 25 Maret 2013.
Ons menjelaskan, pilihan atas karya Linus, selain karena penyair yang wafat 14 tahun lalu ini lahir pada 3 Maret, juga karena Linus merupakan generasi Persada Studi Klub yang hingga akhir hayatnya masih konsisten menulis sajak. “Bahkan sebelum meninggal Linus masih menyelesaikan prosa lirik terbaru yang diberi judul Kisah Dewi Anjani dan prosa itu belum terselesaikan,” kata Ons Untoro.
Pada acara bertajuk "Membaca Puisi Membaca Linus" ini sejumlah penyair muda yang belum pernah bertemu langsung dengan Linus akan membaca puisi karya Linus, antara lain puisi berjudul Bunga Nirwana, Musim Rontok, Ibunda, dan Kembang Tunjung. Selain itu, akan dibaca esei pendek tentang Linus karya Kris Budiman. Di dalam esai itu, terdapat tiga puisi; Maria dari Magdalena, Doa Pagi, dan Doa Malam.
Sahabat Linus, Helga Korda dan Anggi Minarni, juga dijadwalkan turut membacakan sajaknya. Helga akan membaca dua karya Linus: Lingga dan Yoni (1) dan Ibu di Desa. Puisi itu berkisah tentang bagaimana seorang perempuan tradisional yang tinggal di desa mengenal modernisasi. “Ibu itu mengenal modernitas melalui televisi,” kata Ons. Adapun Anggi membaca tiga puisi; Elegi, Baron, dan Gereja St. Albertinus Jetis. “Puisi Linus religius dan berkaitan dengan persoalan sosial.”
Dua penyair dari generasi yang lebih muda, Iqbal Saputra dan Sri Suwarni Dirjo Suwarno, juga akan membacakan karya Linus. “Saya akan membaca empat karya,” kata Iqbal. Prosa liris Pengakuan Pariyem karya Linus paling terkenal dan bukunya telah dicetak ulang. Penggalan kisahnya akan dibacakan Heru Sambawa, aktor Teater Gajah Mada.
Sebagai penyair, Linus Suryadi telah melahirkan banyak buku puisi, misalnya Rumah Panggung, Kembang Tunjung, dan Tirta Kamdanu, selain menerbitkan beberapa buku kumpulan esai, seperti Regol Megal-Megol, Nafas Kebudayaan Yogya, dan Di Balik Sejumlah Nama.
Linus Suryadi AG lahir dan menetap sepanjang hidupnya dusun di kaki Merapi, Kadisobo 3 Maret 1951. Hampir saban hari Linus mengendarai Vespa dari Kadisobo ke Yogyakarta yang berjarak sekitar 20 kilometer untuk bertemu dengan temannya. “Sorenya dia kembali ke dusun,” ujar Ons.
ANANG ZAKARIA
Berita Terpopuler:
Penyerbuan LP Cebongan Bermula dari Saling Pandang
Operasi Buntut Kuda Penjara Cebongan Sleman
Lihat Teman Satu Sel Didor, Napi Cebongan Trauma
Ini Kronologi Penyerbuan Cebongan Versi Kontras
Tak Ada Kudeta, Hanya Pembagian Sembako