TEMPO.CO, Yogyakarta - Petani di pesisir pantai Kulon Progo Yogyakara menolak rencana Keraton dan Puro Pakualaman Yogyakarta menginventarisasi lahan magersari yang tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. "Kalau inventarisasi itu untuk sertifikasi atas nama Pakualaman atau Keraton, kami akan menolak dan siap mempertahankan tanah kami," kata Rupingi, petani pesisir pantai Kulon Progo yang juga tokoh Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo kepada Tempo, Jumat 22 Februari 2013.
Inventarisasi tanah Sultan dan Pakualaman Ground ini dilakukan serentak oleh Keraton dan Pakualaman dari Februari hingga selesai Juni mendatang. Selama inventarisasi Keraton dan Pakualaman menghentikan sementara pemberian dan perpanjangan surat kekancingan. "Ini dilakukan serentak Keraton dan Pakualaman, sebelum perda keistimewaan pertanahan dibahas," kata kerabat Puro Pakualaman Kanjeng Pangeran Hario Kusumoparastho.
Inventarisir sebagai pelaksanaan Undang -Undang Keistimewaan. Dalam undang-undang itu pada Bab X Pasal 32 dan 33 menegaskan Keraton dan Pakualaman sebagai subjek hak yang punya hak milik atas tanah magersari. Keraton dan Pakualaman berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah itu dan dapat segera membuat sertifikat hak milik.
Warga yang ingin mengelola harus punya ijin tertulis atau membuat sertifikat hak guna. "Tanah ini kan hanya ditata, bukan untuk mencabut kekancingan atau mengusir warga," kata Kusumo. Penataan itu juga untuk mengetahui jumlah lahan yang telah terlanjur beralih fungsi, tanpa ijin, dan dijual.
Tapi petani menduga inventarisasi itu karena proyek penambangan pasir besi di pesisir pantai Kulon Progo mandeg akibat terus dilawan petani. Keraton dan Pukualaman adalah pemilik saham perusahaan tambang pasir besi itu. "Soal kepemilikan lahan itu (Pakualaman Ground) kan hanya klaim. Wong mereka saja tidak pernah ke sini,” kata Rupingi. Petani selama puluhan tahun menggarap tanah ini berdasarkan Undang-Undang Agraria. “Kami yang mengelola turun temurun.”
Aktivis yang mengadvokasi petani Kulon Progo Ulin L. Nuha mengatakan inventarisasi itu mesti jelas dasarnya. "UU Keistimewaan itu maknanya terlalu luas. Mana yang disebut tanah Sultan dan Pakualaman Ground kan tidak jelas. Apa mereka punya data?" kata dia.
Ketua Komisi A DPRD DIY Ahmad Subangi mengingatkan, upaya inventarisir itu jangan sampai menimbulkan gejolak masyarakat. “Persoalan tanah merupakan kondisi sangat sensisitif,” katanya.
PRIBADI WICAKSONO