TEMPO.CO, Denpasar - Rencana Kementerian Pendidikan Nasional untuk menghapus bahasa daerah dari kurikulum pendidikan nasional menuai protes di Bali. Ratusan mahasiswa dan dosen melakukan aksi unjuk rasa di Gedung DPRD Bali, Renon, Denpasar, Jumat, 12 Desember 2012.
Mereka antara lain berasal dari Institut Hindu Darma Negeri (IHDN), Universitas Dwijendra, dan IKIP PGRI Bali yang menggabungkan diri dalam Aliansi Peduli Bahasa Bali. Selain itu, bergabung pula Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI). "Kami menolak keras karena bahasa merupakan alat untuk mewariskan kebudayaan Bali," kata Kadek Sumadiarta, dari KMHDI Bali.
Dosen IHDN Denpasar, Wayan Sugita, menegaskan, kurikulum baru tahun 2013 yang direncanakan melebur bahasa daerah ke dalam paket Ilmu Seni Budaya sungguh adalah tindakan kontra-produktif. Dengan penggabungan itu, menurutnya, akan menjadi ancaman terhadap bahasa daerah di seluruh Nusantara, khususnya suku-suku minoritas akan hilang dari Tanah Air.
"Ada apa di balik ini? Apakah yang mayoritas saja yang akan diakui?" ia menegaskan. Rencana penghapusan pelajaran Bahasa Bali itu, kata dia, secara langsung juga mengancam kelangsungan para mahasiswa yang menekuni jurusan sastra daerah ataupun program studi pengajaran bahasa daerah.
Karenanya, pengunjuk rasa menuntut agar pelajaran Bahasa Bali tetap digunakan sebagai mata pelajaran wajib di setiap sekolah di Bali. Pemerintah juga perlu mengkaji pelaksanaan kurikulum 2013 terkait dengan pengintegrasian muatan lokal bahasa daerah Bali dengan mata pelajaran seni budaya.
Mereka kemudian ditemui oleh Ketua Komisi IV DPRD Bali Nyoman Parta yang menyatakan dukungannya atas aspirasi tersebut. "Kami juga akan menyuarakan persoalan ini kepada Pemerintah Daerah dan pihak-pihak lain yang terkait," ia menegaskan. Parta setuju bahwa untuk dapat menjaga keragaman budaya, bahasa daerah justru harus diperkuat pengembangannya melalui jalur pendidikan.
ROFIQI HASAN