TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menolak pencantuman hukuman mati dalam revisi Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) oleh pemerintah. "Saya khawatir hukuman itu justru disalahgunakan kepada orang yang seharusnya tidak bersalah," kata Koordinator Kontras, Usman Hamid, Rabu, 20 Juli 2011.
Menurut dia, putusan yang salah sangat rentan terjadi melihat perilaku para penegak hukum saat ini. Apalagi banyak penegak hukum sendiri, baik jaksa, polisi, atau hakim yang bermasalah sehingga kredibilitas mereka diragukan untuk dapat memberikan hukuman yang tepat kepada orang yang dianggap bersalah.
Rencana pencantuman klausul hukuman mati bagi koruptor ini disampaikan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar. "Hukuman mati tetap diberlakukan, tapi tidak semua dihukum mati. Masak orang korupsi sedikit dihukum mati," kata Patrialis kemarin.
Revisi UU Tipikor ini, kata Patrialis, masih dikaji kementeriannya dan akan segera diserahkan ke Sekretariat Negara untuk dibahas di kabinet. "Bulan ini selesai," kata Patrialis.
Menurut Usman, rencana pencantuman hukuman mati hanya sekadar siasat pemerintah yang hendak memperlihatkan kepada masyarakat bahwa mereka serius menegakkan hukum. Padahal, fakta di lapangan, para pelaku korupsi hanya dihukum antara satu sampai tiga tahun. "Koruptor yang dihukum 20 tahun sampai seumur hidup saja tidak ada," kata Usman.
Usman berharap pemerintah dapat terlebih dahulu membenahi perilaku para penegak hukum agar tidak tebang pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi. Usman mencontohkan, dalam kasus cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang memenangkan Miranda Swaray Goeltom pada 2004, Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menjerat para penerimanya. "Sumber pemberi duitnya tak tersentuh," kata Usman.
RUSMAN PARAQBUEQ