"Kami punya alasan yang kuat kenapa Soeharto tidak pantas mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional," kata Direktur LBH Semarang Siti Rakhma Mary Herwati dalam siaran persnya, Selasa (9/11).
Rakhma menilai fakta di lapangan menunjukan bahwa Soeharto telah banyak melakukan
pelanggaran hak asasi manusia ataupun penyalahgunaan kekuasaan (a buse of power) yang terjadi selama dia menjadi pemimpin Indonesia.
Baca Juga:
Fakta-fakta lapangan yang mendasari penolakan pemberian gelar pahlawan nasional kepada almarhum Soeharto antara lain: laporan Kantor Perserikatan Bangsa-bangsa urusan obat-obatan dan kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia yang telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada tahun 2005. Dalam laporan disebutkan bahwa Soeharto berada pada peringkat pertama sebagai (Mantan) Presiden terkorup di abad 20 yaitu sebesar US$ 15-35 miliar. Jumlah hasil korupsinya ini di atas Ferdinand E. Marcos (Filipina) US$ 5-10 miliar, dan Mobutu Sese Seko (Kongo) US$ 5 miliar.
Selain itu, tambah Rakhma, Soeharto terlibat dalam kasus pembantaian massal 1965 – 1970 di mana jumlah korban mencapai 1.500.000 korban meninggal dan hilang. "Mereka kebanyakan adalah anggota PKI, atau ormas yang dianggap berafiliasi dengan PKI seperti SOBSI, BTI, Gerwani, Lekra dan lain-lain," katanya. Mereka dihukum tanpa melalui proses hukum yang sah.
Selain itu juga kasus DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh tahun 1974-1999 dimana ribuan rakyat mengalami kekerasan yang dilakukan Militer dengan dalih dianggap sebagai gerakan
separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka). "Dan masih banyak kasus-kasus pelanggaran lain," ujar Rakhma.
Baca Juga:
Rakhma menilai Soeharto tidaklah layak untuk mendapat gelar pahlawan nasional, karena menurut UU Republik Indonesia No.20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa khususnya pasal 25 mengenai syarat umum memperoleh Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa yaitu diantaranya butir (b) Memiliki integritas moral dan keteladanan dan (d) berkelakuan baik. Selain itu berdasar Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor. XI tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas korupsi kolusi dan nepotisme
yang isinya mengamanatkan penuntasan dugaan KKN Mantan Presiden Soeharto.
ROFIUDDIN